
Jika dilihat sekilas, keberadaan Rawapening ini wajar-wajar saja. Namun jika kita terjun ke dalamnya, danau tersebut tampaknya sedang ''sakit''. Akibatnya, warga yang menggantungkan hidupnya dari Rawapening, termasuk ribuan petani dan nelayan dari empat kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang pun menangis bertahun-tahun.
Demikian pengakuan Kasiyan (42), warga Desa/Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang kepada Suara Merdeka, Selasa malam (9/2).
"Sekarang, untuk memperoleh ikan sekilo per hari sulitnya bukan main. Hal itu disebabkan mulai sesaknya lahan untuk mencari ikan," kata dia yang menjadi Ketua Kelompok Nelayan Upoyo Wino dan Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Desa Tuntang tersebut.
Kesesakan ini terjadi akibat makin banyaknya jumlah nelayan di sekitar Rawapening yang mencari ikan atau mendirikan keramba-keramba ikan. Mereka yang mencari ikan di danau tersebut, memang tak hanya nelayan di sekitar Rawapening, akan tetapi juga nelayan liar.
Mereka sama-sama menggantungkan hidupnya pada Rawapening. Akibatnya, terjadilah persaingan dalam mencari ikan, sehingga rawan konflik.
Meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang telah menerbitkan aturan tentang pembagian zona penangkapan ikan melalui Perda Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Budi Daya Ikan di Rawapening (sebagai perbaruan Perda Nomor 16 Tahun 1999), fakta di lapangan ternyata masih menunjukkan banyaknya nelayan yang melanggar batas zona yang ditentukan.
Pertanyaan yang muncul, mengapa hal itu terjadi? Jawaban klasiknya adalah karena desakan kebutuhan untuk mendapatkan ikan, sehingga perda-perda yang ada hanya menjadi cetak biru saja.
Pengamat politik lokal masalah Rawapening Prof Dr Kutut Suwondo (Dekan Fisipol UKSW) mengatakan, permasalahan sosial ekonomi yang muncul di seputar Rawapening terjadi ketika daya dukung tidak mampu lagi menjadi penyangga tuntutan penduduk, pengusaha, dan tuntutan pembangunan yang terus meningkat.

Ketua Forum Rembuk Rawapening Wibowo (36) mengatakan, masalah penangkapan ikan oleh nelayan memang terjadi sejak lama. Sebelum tahun 1991, sebenarnya masyarakat sekitar Rawapening memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap Rawapening.
Namun setelah diterbitkan Perda Nomor 16 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Rawapening, ternyata hampir 70 % pengguna alat tangkap ikan tidak diperbolehkan (dilarang).
Mereka yang tadinya dilarang, merasa bersalah mengambil sikap mendiamkan saudara-saudaranya yang mengambil ikan dengan alat tangkap racun dan setrum. Pemakaian alat yang merusak lingkungan ini terjadi hingga tahun 1999. Akibatnya, penyalahgunaan kedua alat tangkap itu sempat merajarela beberapa saat.
Akibat masyarakat tidak memperdulikan penyalahgunaan alat tangkap setrum dan racun itu, pendapatan ekonomi masyarakat turun drastis. Bila biasanya pendapatan nelayan dalam mencari ikan rata-rata mencapai Rp 15 ribu/hari, dengan merajalelanya penggunaan racun dan setrum, turun menjadi Rp 5 ribu/hari. Di lain pihak, penghasilan mereka yang memakai alat tangkap racun dan setrum mencapai Rp 50 ribu/hari. (91m)
Disadur dari koran SUARA MERDEKA
Jumat, 11 Februari 2005 SEMARANG
No comments:
Post a Comment